Sunday, May 29, 2011

kita cerai saja


Bismillahir-Rahmanir-Rahim....

Saat aku dilamar suamiku, aku merasa bahwa akulah wanita yang paling beruntung di muka bumi ini. Bayangkan dari sekian juta wanita di dunia ini, aku yang dia pilih untuk jadi isterinya. Kalau aku persempit, dari sekian banyak wanita di negara i...ni, di propinsi ini, di kota i...ni, di rumah ibuku yang anak perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih untuk jadi isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Aku berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menjaga kehormatanku sebagai isterinya, menjadi ibu yang baik, membesarkan anak-anakku menjadi sholih dan sholihah. Aku memanfaatkan pernikahanku sebagai ladang amalku, sebagai tiket ke surga.

Walaupun begitu... hidup seperti halnya makanan penuh dengan bumbu. Ada bumbu yang manis, yang pahit, yang pedas, dan lain-lain. Aku juga menghadapi yang namanya ketidakcocokan atau selisih paham dengan suamiku, baik itu tidak sepaham, kurang sepaham, agak sepaham, hampir sepaham, atau apapunlah itu. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba berpikiran terbuka, mengakui kebenaran bila suamiku memang benar dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku mencoba bertuturkata lembut menegur kesalahan suamiku dan membantunya memperbaikinya agar ia merubah sikapnya. It's all about compromising.

Namun apalah daya... pada akhirnya, terucap pula kata itu dari bibir suamiku "kita cerai saja!". hanya karena sebuah masalah kecil yang tanpa sengaja menjadi besar.

Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar di kepalaku. Arsy pun berguncang untuk ke sekian kalinya. Dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku menjadi wanita paling pilu sedunia. Tak ada yang kupikirkan selain... yah kita memang harus berpisah!

Kuingat kembali pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya... Kita memang sudah nggak cocok!

Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan namun lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan suamiku.

Aku menangis sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Hari itu menjadi hari paling menyedihkan dalam hidupku.

Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya. Entah kemana ia. Tanpa sadar aku, layaknya aktris berakting di sinetron-sinetron, memandangi foto-foto kami dulu dengan berlinang airmata. Ngiris hati ini. Andai saja ada lagu Goodbye dari Air Supply yang mengiringiku, tentu semuanya menjadi scene yang sempurna.

Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku teringat pertama kali aku bertemu suamiku, teringat apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku tersenyum kecil hingga akhirnya tertawa saat mengingat malam pertamaku. Ha ha ha.

Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka satu per satu.... Mereka mirip ayahnya. Aku jadi teringat saat pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi ayah. Hhmmm...

Ku lalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya, menunggu kelahiran buah cinta kami. Dengan penuh kasih sayang, suamiku memegang tanganku, mencoba menenangkanku saat sang khalifah baru lahir, walaupun kutahu ia hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat semuanya berakhir walaupun wajahku penuh keringat saat itu. Saat kubuka mataku, di sampingku ia duduk menggendong bayi mungil itu. Bersamanya, kubeli tiket ke surga...

"Mi, abi mana?" suara anakku mengejutkan lamunanku. Tak sanggup kumenjawabnya. Hampir saja aku menangis lagi.

Tiba-tiba kulihat sesosok bayangan dari balik dinding. Suamiku datang. Rupanya tadi malam ia tidur di masjid. Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka berhamburan menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena mereka belum cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu. Ia membawakan makanan untuk mereka.

Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa dan kuajak ia melihat foto-foto lama kami. Bernostalgia. Aku tertawa bersamanya. Mengingat yang telah lewat.

Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang berfikir. Namun aku khawatir ia sedang meyakinkan hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur kata-kata agar aku dapat menerima keputusannya.

Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam, kukatakan padanya bahwa aku merindukannya sejak tadi malam. Ia tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama.

Hatiku lega. Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa selain dari semua kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang tidak disukainya tentu ada yang disukainya, selain dari semua ketidakcocokan kita tentu ada bagian yang cocok. "Bila tidak, apa alasan Abang mau menikahi Dinda dulu? Dan .. bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama ini?"

Ia mencium keningku. Kurasakan air mata mengalir hangat di pipiku. Tapi bukan air mataku...

"Allah memang hanya menciptakan Dinda buat Abang... Maafin Abang ya..."

ku usap air mata dari pipinya dan ia membaringkan kepalanya di pangkuanku...

"Maafin Dinda juga ya, Bang..."

Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak ingin menanyakannya. Hanya dengan berada di sisiku pagi itu, aku rasa aku tahu jawabannya...

Princess LL

Pernikahan itu bisa berumur panjang bila ada usaha untuk memanjangkannya dan bisa berumur pendek bila tidak ada yang mau berfikir panjang.


(Untuk pangeranku, aku ingin beranjak tua bersamamu... atas izin Allah)

Saturday, May 14, 2011

saya ridho suami ku

"Assalamu'alaikum...," bisik Muhsin mengakhiri rakaat terakhirnya. Dibelakangnya Hasanah mengucap lafaz yang sama. Shalat jamaah usai. Seperti biasanya, sejak ia dinikahi Muhsin, Hasanah meraih tangan suaminya, disalami dan diciumnya.



"Bang..., boleh ngak saya bertanya," desisnya setelah keduanya selesai berzikir.

"Tentu saja, masalah apa?"

"Salaman...."

"Salaman? Ada apa? .....Bagaimana? ...Mengapa?"

"Kaum feminisme menganggap salaman seperti tadi adalah bukti pelecehan terhadap perempuan. Mengapa istri mesti meraih dan mencium tangan suaminya? Mengapa tidak sebaliknya? Bukankah itu tanda perempuan lebih rendah dari laki-laki? Bagaimana tanggapan Abang?"



"Oh, itu toh, Apakah Abang pernah memerintahkan Adik berbuat demikian?"

"Tidak."

"Atau menganjurkan?"

"Tidak."

"Mengapa Adik melakukannya?"

"Ng... mengapa ya? ....... Mungkin pertama, saya sering melihat ibu melakukan hal yang demikian kepada bapak. Kedua, naluri saya sebagai istri memerintahkan saya berbuat demikian. Ketiga, saya lihat Abang senang menerimanya. Saya bahagia jika suami merasa gembira dengan sesuatu yang saya perbuat."




"Adik merasa direndahkan?"

"Tidak."

"Sebenarnya inti dari yang adik tanyakan adalah salaman. Walaupun salaman pada mulanya dilakukan penduduk Yaman, Rasulullah SAW mentradisikannya di kalangan kaum Muslimin. Bahkan beliau menyatakan, 'Tiada dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan diampunkan dosa keduanya sebelum berpisah.' Salaman adalah lambang perdamaian dan kedamaian. Salaman tidak dilakukan oleh dua orang yang bermusuhan dan mendendam."



"Mencium tangan?"

"Itu dilakukan para sahabat kepada Nabi SAW."

"Jadi, salaman adalah sebuah tradisi kebaikan?"

"Ya, Rasulullah saw mengingatkan kaum Muslimin untuk tidak meremehkan suatu kebaikan walau sekadar menghadapi teman dengan muka yang manis. Apalagi menghadapi suami dan istri."



"Itukah alasan abang menerima uluran tangan saya?"

"Benar. Bukan rasa kebanggaan diri sebagai suami, saya menyambut uluran tangan itu. Tidak juga karena saya merasa lebih baik dari Adik. Abang sadar bahwa ketaqwaanlah yang menjadikan kemuliaan seseorang. Sedang taqwa dan iman itu bisa naik dan bisa turun. Suatu saat boleh jadi keadaan Abang lebih baik dari Adik. Pada saat yang lain, barangkali Abanglah yang memerlukan dorongan dan nasihat dari Adik. Apa dan bagaimanapun kondisi keimanan kita pada suatu saat, yang jelas salaman akan membawa kepada kedamaian.Ini kebaikan yang harus dihargai."



"Apakah feminisme merasakan nuansa ini?"

"Wallahu a'lam. Mereka selalu berpikir dari sisi lelaki dan perempuan. Tidak dari sebuah sisi yang utuh sebagai manusia hidup saling melengkapi. Jika seorang lelaki pembantu umum diperusahaan menghidangkan minuman kepada seorang direktris, maka hal itu adalah sebuah fenomena kerja fungsional. Bukan penghinaan kepada laki-laki. Namun jika seorang istri menghidangkan minuman kepada suaminya yang baru pulang kerja, maka itu mereka anggap sebagai pelecehan terhadap martabat perempuan. Padahal Allah telah menentukan keluarga sebagai sebuah struktur organisasi masyarakat dengan sebuah model kepemimpinan yang digariskan berdasarkan pertimbangan seluruh aspek kemanusiaan lelaki dan perempuan."



"Abang adalah pemimpin saya. Sayalah yang perlu meraih dan menciumi tangan Abang. Ini upaya kebaikan yang bisa saya lakukan."

"Jazakillahi khoiron. Sesungguhnya lurusnya jalan saya sebagai suami serta ketaatan Adik sebagai istri-lah yang menjadi tulang punggung keberhasilan kepemimpinan keluarga ini. Mengenai salaman tak ada salahnya jika suatu saat saya yang meraih dan mencium tangan Adik. Namun kenyataannya Adiklah yang selalu mendahului saya."

"Saya Ridho......"



eheheh,,,, so romantic ;);)

Saturday, May 7, 2011

kisah inspiratif

Kupandangi mawar-mawar putih di sudut beranda. Tertata apik dan penuh pesona. Tanaman yang kau rawat dengan kesungguhan dan cinta. Kilauan embun yang terkena sinar mentari membuat mawar-mawar putih itu makin indah dan anggun seperti dirimu, bidadariku.



“Kemarilah, Kak. Lihatlah. Cantik sekali, bukan?! Katamu waktu itu, membanggakan mawar-mawarmu. Aku tersenyum. Kudekati dan kupeluk engkau dari belakang.



“Engkau jauh lebih cantik daripada beribu mawar yang berkilauan, sayaaaang.…” lembut kuberbisik di telinganya.



Secepat angin engkau membalikkan badan. Kedua tanganmu memegang pipiku, perlahan kau pejamkan matamu. Kupandangi kau lekat-lekat. Tiba-tiba kau belalakkan mata indahmu dengan jenaka.



“Terima kasih untuk rayuan pulau Seribunya, Kak.”



Aku benar-benar gemas dibuatnya. Kucubit hidungnya. Bukannya marah, engkau justru semakin menggodaku. Matamu mengerjap-ngerjap manja. Seperti kerlip kejora yang membiaskan sinarnya hingga ke lubuk hatiku.



Andai saja kau masih di sisiku saat ini, adek. Sedang apakah engkau di sana? Apakah engkau kini sedang menungguku dalam taman bunga di antara berjuta mawar yang semerbak harum mempesona? Ataukah kini engkau sedang bermain, bercengkerama dengan buah hati kita dan para bidadari surga?



Memilikimu adalah anugerah terindah bagiku. Seorang wanita cantik beralis tebal dan bermata sebening telaga. Mata yang mampu menyihirku dengan sorot teduhnya. Perangaimu pun sangat menawan. Lemah lembut dan halus dalam bertutur kata. Sungguh sangat sempurna. Kecantikan raga dan kecemerlangan otak yang membalut indahnya jiwa. Engkaulah bidadariku, adek. Bidadari yang Allah kirimkan untukku. Impian yang selalu ada di benakku, yang termohon dalam setiap doaku dulu. Impian yang ternyata hanya semusim kulalui bersamamu.



Seperti rangkaian slide, otakku memutar kembali peristiwa-peristiwa bersamamu.



“Semoga aku bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, Kakak. Juga mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kita kelak. Mohon bimbingannya, Kak.”



Kucium keningmu dan kupeluk engkau erat. “Aamiin. Insya Allah, Dek. Akan kulakukan yang terbaik untukmu, sebisaku, semampuku.” kataku dalam hati.



Terbayang betapa bingungnya aku ketika engkau sakit. Berhari-hari engkau mual dan hendak muntah. Aku kira maagmu kambuh atau asam lambungmu kembali mengganggu karena kebiasaan makan pedas yang paling sulit engkau bendung. Ternyata aku keliru. Betapa bahagianya waktu kutahu bahwa ada benihku yang bertumbuh di rahimmu. “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.” Pekikku saat itu. Aku langsung sujud syukur begitu mengetahui berita kehamilanmu.



Sejak saat itu aku menjadi suami yang sangat-sangat protektif. Berbagai macam buku tentang kehamilan pun mendadak menjadi bacaan favoritku. Engkau begitu pengertian dengan segala perubahanku. Tak sedikit pun kau tampakkan ketidaknyamanan karena sikap tegas dan kerasku.



Pernah suatu kali kau katakan, “ Kakak, aku sangat bahagia. Merasakan perhatian dan kasih sayangmu. Menikmati peranku sebagai istri dan ibu dari calon jundullah kita. Tahukah engkau, Kakak? Aku sangat senang katika kau mencium perutku dan melantunkan ayat-ayat suci untuk janin di dalamnya. Tahukah juga, Kakak… waktu aku harus minum susu padahal aku sangat tak menyukainya? Aku menahan napas, dalam tiap tegukan, aku pejamkan mata dan bayangkan engkau tersenyum padaku.”



~~@~~



Pagi itu kau tampak begitu segar dengan gamis hijaumu. “Kakak, nanti pulangnya jangan sampai larut malam ya. Habis Isya, aku harus kontrol ke dokter kandungan.” pesanmu padaku sambil kau pasangkan dasi di kerah bajuku.



“Iya, adek sayaaaang. Insya Allah Kakak usahakan seawal mungkin. Kalau perlu ,hari ini Kakak cuti aja ya.”



“Ga usah, Kak. Periksanya kan masih ntar malam. Kerja pun suatu amanah yang harus Kakak lakukan sebaik mungkin.” Senyummu begitu manis, membuatku tak hanya ingin bersamamu sepanjang hari ini tapi juga setiap waktu di sampingmu.



Langit belum lagi gelap. Semburat merah saga menghias senja yang indah. Tak seperti sebelumnya, hari itu aku berhasil pulang lebih awal. Kulihat engkau di beranda bersama mawar-mawar putihmu. Wajahmu tampak lain dibanding biasanya. Terlihat bersinar memancarkan kecantikan yang sempurna. Engkau tampak sangat anggun dalam balutan gaun putih tulang yang melambai tertiup angin senja.



“Subhanallah, cantik nian istriku ini.” gumamku dalam hati.



“Assalamu’alaykum, Adek…”



“Wa’alaykum salam, Kakak….” engkau tersenyum manis. Penuh takzim kau cium tanganku.



Kucium pipinya. “Cantik sekali, Dek.”



“Terima Kasih Kakak. Semua ini untukmu.” Bagai seteguk air di gersangnya gurun. Terasa hilang segala penatku.



Aku merasa menjadi suami yang paling bahagia. Hidupku berlimpah cinta dan diperlakukan bak seorang raja.



“Kakak, maaf kalau kopinya kurang manis.”



“Tanpa gula pun akan berasa manis jika aku meminumnya sambil melihatmu, sayang.”



“Iiiihhhhh, Kakak! Apa-apaan sih.” dengan wajah pura-pura cemberut kau cubit pinggangku .



“Kak… Adek minta maaf jika selama ini belum bisa berlaku sebagai istri yang baik.”



Lembut kutarik tubuhmu dan kududukkan di pangkuanku. “Engkau tlah memberiku segalanya, memberi lebih dari yang aku minta. Dan nanti jika buah hati kita telah lahir, dia akan makin menyemarakkan dan memperindah hidup kita.”



Kulihat kepedihan di matanya. Kesedihan yang tak biasa. Tertumpah air mata meski tanpa kata. Kuseka buliran bening yang menetes di pipimu. “Adek, jangan bersedih dooooong. Ada apa sebenarnya? Coba ceritakan ke Kakak.”



Engkau mencoba tersenyum. Lagi-lagi tanpa kata. Ada sesuatu yang terasa begitu dingin menelusup hatiku. Dingin yang menusuk, perih tapi entah apa, aku sendiri tak tahu.



“Kakak… Ke luar bentar yuk. Kayaknya dah lama ga jalan-jalan petang. Sekalian nikmati senja.”



“Boleh tapi bentar aja ya. Dah mo Maghrib dan lagi, Adek harus jaga kesehatan. Jangan sampai kecapekan. Usia kandungannya masih empat bulan. Harus dijaga benar-benar.” Aku berusaha menuruti permintaanya supaya kesedihan itu lekas berlalu dari wajahnya.



“Iya, Kakak. Terima kasih banyak ya.” engkau kembali tersenyum. Kurasakan sesuatu bergejolak di hatiku. Entah mengapa aku merasa begitu takut kehilanganmu. Kutepis jauh-jauh perasaanku.



Kudekap engkau erat,“Adek, aku sangat mencintaimu.’ Tak terasa mataku berkaca-kaca.



“Aku juga Kak, Insya Allah selamanya meski maut memisahkan kita.” suaramu bergetar penuh kepedihan.



Kulepaskan dekapanku,” Sudah Adek, kok jadi bicara seperti itu. Ayo jalan-jalan, ntar keburu gelap.”



Senja masih memerah. Langit pun masih tampak sibuk. Burung-burung kecil beterbangan kembali ke sarangnya, ramaikan suasana senja. Tanganmu bergelayut erat di lenganku, seakan tak hendak lepas dan enggan jauh dariku.



“Kakak, saya ke super market seberang ya. Cuma bentar. Pengen beli es krim. Kakak tunggu aja di sini, ok?!” matamu tlah kembali berbinar.



“Engga ah, Kakak mo ikut.”



“Kakaaaaaaaak… Cuma sebentar, kayak mo ditinggal ke mana aja, sih.” engkau tersenyum sambil mengerlingkan matamu.



“Iya deh, tapi hati-hati ya.”



“Iya Kakak sayaaaaaang.”



Kuperhatikan engkau menyeberang jalan hingga masuk ke super market itu. Tak berapa lama berselang, engkau keluar sambil membawa dua buah es krim di masing-masing tanganmu. Kulihat engkau tersenyum sangat manis. Jalanmu begitu anggun.



Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan sangat kencang. Tanpa ampun, menabrak tubuh indahmu. Aku segera berlari menghampirimu. Darah menetes deras dari tubuhmu. Memerah di putih bajumu. Kuangkat engkau. Kudekap kepalamu dan kuciumi wajah pucatmu. Hatiku serasa dirajam. Allah....



“Kakak… aku sangat mencintaimu. Maafkan aku….” engkau berkata dengan suara yang sangat lemah, hampir tak terdengar. Engkau tersenyum, begitu damai. Perlahan kau pejamkan matamu.



Aku tak mampu berkata-kata. Kuperiksa nadimu. Berhenti! Begitu juga dengan bumi yang aku pijak. Semua seperti berhenti. Angin menjadi diam. Langit pun menggelap dan tiba-tiba runtuh di atasku.



“Innalillahi wa inna illaihi raji’un….” jiwaku serasa turut melayang, mengunci waktu.



"Adeeeeeeeeeekkk...!"



~~@~~



Suara adzan membuyarkan lamunanku. Matahari telah tepat di atas kepala. Matahari yang sama, yang menyinari hari-hariku ketika bersamamu.



Allah, betapa cinta ini telah mengakar dalam hatiku. Menggema hingga ke lorong-lorong jiwaku. Aku sangat mencintainya, Rabb…. Ku bersyukur telah Engkau perkenankan aku hidup bersamanya. Inilah jalan takdir yang harus aku lalui. Kutahu ini adalah ujian bagiku. Ujian atas sebentuk cinta yang kurasa. Kecintaanku padanya adalah jalan tuk meraih cinta-Mu. Begitu juga ketika kuharus kehilangannya. Keikhlasanku tuk melepasnya adalah bentuk terbesar indah cintaku padanya dan ketaatanku sebagai hamba.



Bantu hamba ya Rabb… tabahkan hati yang rapuh ini. Penuhi jiwa hamba dengan ikhlas yang tak terbatas. Dan ijinkanlah cinta ini tetap bersemayam di kalbu hamba, cinta yang kan terbungkus dengan indah sebagai hadiah untuknya kelak.