Kupandangi mawar-mawar putih di sudut beranda. Tertata apik dan penuh pesona. Tanaman yang kau rawat dengan kesungguhan dan cinta. Kilauan embun yang terkena sinar mentari membuat mawar-mawar putih itu makin indah dan anggun seperti dirimu, bidadariku.
“Kemarilah, Kak. Lihatlah. Cantik sekali, bukan?! Katamu waktu itu, membanggakan mawar-mawarmu. Aku tersenyum. Kudekati dan kupeluk engkau dari belakang.
“Engkau jauh lebih cantik daripada beribu mawar yang berkilauan, sayaaaang.…” lembut kuberbisik di telinganya.
Secepat angin engkau membalikkan badan. Kedua tanganmu memegang pipiku, perlahan kau pejamkan matamu. Kupandangi kau lekat-lekat. Tiba-tiba kau belalakkan mata indahmu dengan jenaka.
“Terima kasih untuk rayuan pulau Seribunya, Kak.”
Aku benar-benar gemas dibuatnya. Kucubit hidungnya. Bukannya marah, engkau justru semakin menggodaku. Matamu mengerjap-ngerjap manja. Seperti kerlip kejora yang membiaskan sinarnya hingga ke lubuk hatiku.
Andai saja kau masih di sisiku saat ini, adek. Sedang apakah engkau di sana? Apakah engkau kini sedang menungguku dalam taman bunga di antara berjuta mawar yang semerbak harum mempesona? Ataukah kini engkau sedang bermain, bercengkerama dengan buah hati kita dan para bidadari surga?
Memilikimu adalah anugerah terindah bagiku. Seorang wanita cantik beralis tebal dan bermata sebening telaga. Mata yang mampu menyihirku dengan sorot teduhnya. Perangaimu pun sangat menawan. Lemah lembut dan halus dalam bertutur kata. Sungguh sangat sempurna. Kecantikan raga dan kecemerlangan otak yang membalut indahnya jiwa. Engkaulah bidadariku, adek. Bidadari yang Allah kirimkan untukku. Impian yang selalu ada di benakku, yang termohon dalam setiap doaku dulu. Impian yang ternyata hanya semusim kulalui bersamamu.
Seperti rangkaian slide, otakku memutar kembali peristiwa-peristiwa bersamamu.
“Semoga aku bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, Kakak. Juga mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kita kelak. Mohon bimbingannya, Kak.”
Kucium keningmu dan kupeluk engkau erat. “Aamiin. Insya Allah, Dek. Akan kulakukan yang terbaik untukmu, sebisaku, semampuku.” kataku dalam hati.
Terbayang betapa bingungnya aku ketika engkau sakit. Berhari-hari engkau mual dan hendak muntah. Aku kira maagmu kambuh atau asam lambungmu kembali mengganggu karena kebiasaan makan pedas yang paling sulit engkau bendung. Ternyata aku keliru. Betapa bahagianya waktu kutahu bahwa ada benihku yang bertumbuh di rahimmu. “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.” Pekikku saat itu. Aku langsung sujud syukur begitu mengetahui berita kehamilanmu.
Sejak saat itu aku menjadi suami yang sangat-sangat protektif. Berbagai macam buku tentang kehamilan pun mendadak menjadi bacaan favoritku. Engkau begitu pengertian dengan segala perubahanku. Tak sedikit pun kau tampakkan ketidaknyamanan karena sikap tegas dan kerasku.
Pernah suatu kali kau katakan, “ Kakak, aku sangat bahagia. Merasakan perhatian dan kasih sayangmu. Menikmati peranku sebagai istri dan ibu dari calon jundullah kita. Tahukah engkau, Kakak? Aku sangat senang katika kau mencium perutku dan melantunkan ayat-ayat suci untuk janin di dalamnya. Tahukah juga, Kakak… waktu aku harus minum susu padahal aku sangat tak menyukainya? Aku menahan napas, dalam tiap tegukan, aku pejamkan mata dan bayangkan engkau tersenyum padaku.”
~~@~~
Pagi itu kau tampak begitu segar dengan gamis hijaumu. “Kakak, nanti pulangnya jangan sampai larut malam ya. Habis Isya, aku harus kontrol ke dokter kandungan.” pesanmu padaku sambil kau pasangkan dasi di kerah bajuku.
“Iya, adek sayaaaang. Insya Allah Kakak usahakan seawal mungkin. Kalau perlu ,hari ini Kakak cuti aja ya.”
“Ga usah, Kak. Periksanya kan masih ntar malam. Kerja pun suatu amanah yang harus Kakak lakukan sebaik mungkin.” Senyummu begitu manis, membuatku tak hanya ingin bersamamu sepanjang hari ini tapi juga setiap waktu di sampingmu.
Langit belum lagi gelap. Semburat merah saga menghias senja yang indah. Tak seperti sebelumnya, hari itu aku berhasil pulang lebih awal. Kulihat engkau di beranda bersama mawar-mawar putihmu. Wajahmu tampak lain dibanding biasanya. Terlihat bersinar memancarkan kecantikan yang sempurna. Engkau tampak sangat anggun dalam balutan gaun putih tulang yang melambai tertiup angin senja.
“Subhanallah, cantik nian istriku ini.” gumamku dalam hati.
“Assalamu’alaykum, Adek…”
“Wa’alaykum salam, Kakak….” engkau tersenyum manis. Penuh takzim kau cium tanganku.
Kucium pipinya. “Cantik sekali, Dek.”
“Terima Kasih Kakak. Semua ini untukmu.” Bagai seteguk air di gersangnya gurun. Terasa hilang segala penatku.
Aku merasa menjadi suami yang paling bahagia. Hidupku berlimpah cinta dan diperlakukan bak seorang raja.
“Kakak, maaf kalau kopinya kurang manis.”
“Tanpa gula pun akan berasa manis jika aku meminumnya sambil melihatmu, sayang.”
“Iiiihhhhh, Kakak! Apa-apaan sih.” dengan wajah pura-pura cemberut kau cubit pinggangku .
“Kak… Adek minta maaf jika selama ini belum bisa berlaku sebagai istri yang baik.”
Lembut kutarik tubuhmu dan kududukkan di pangkuanku. “Engkau tlah memberiku segalanya, memberi lebih dari yang aku minta. Dan nanti jika buah hati kita telah lahir, dia akan makin menyemarakkan dan memperindah hidup kita.”
Kulihat kepedihan di matanya. Kesedihan yang tak biasa. Tertumpah air mata meski tanpa kata. Kuseka buliran bening yang menetes di pipimu. “Adek, jangan bersedih dooooong. Ada apa sebenarnya? Coba ceritakan ke Kakak.”
Engkau mencoba tersenyum. Lagi-lagi tanpa kata. Ada sesuatu yang terasa begitu dingin menelusup hatiku. Dingin yang menusuk, perih tapi entah apa, aku sendiri tak tahu.
“Kakak… Ke luar bentar yuk. Kayaknya dah lama ga jalan-jalan petang. Sekalian nikmati senja.”
“Boleh tapi bentar aja ya. Dah mo Maghrib dan lagi, Adek harus jaga kesehatan. Jangan sampai kecapekan. Usia kandungannya masih empat bulan. Harus dijaga benar-benar.” Aku berusaha menuruti permintaanya supaya kesedihan itu lekas berlalu dari wajahnya.
“Iya, Kakak. Terima kasih banyak ya.” engkau kembali tersenyum. Kurasakan sesuatu bergejolak di hatiku. Entah mengapa aku merasa begitu takut kehilanganmu. Kutepis jauh-jauh perasaanku.
Kudekap engkau erat,“Adek, aku sangat mencintaimu.’ Tak terasa mataku berkaca-kaca.
“Aku juga Kak, Insya Allah selamanya meski maut memisahkan kita.” suaramu bergetar penuh kepedihan.
Kulepaskan dekapanku,” Sudah Adek, kok jadi bicara seperti itu. Ayo jalan-jalan, ntar keburu gelap.”
Senja masih memerah. Langit pun masih tampak sibuk. Burung-burung kecil beterbangan kembali ke sarangnya, ramaikan suasana senja. Tanganmu bergelayut erat di lenganku, seakan tak hendak lepas dan enggan jauh dariku.
“Kakak, saya ke super market seberang ya. Cuma bentar. Pengen beli es krim. Kakak tunggu aja di sini, ok?!” matamu tlah kembali berbinar.
“Engga ah, Kakak mo ikut.”
“Kakaaaaaaaak… Cuma sebentar, kayak mo ditinggal ke mana aja, sih.” engkau tersenyum sambil mengerlingkan matamu.
“Iya deh, tapi hati-hati ya.”
“Iya Kakak sayaaaaaang.”
Kuperhatikan engkau menyeberang jalan hingga masuk ke super market itu. Tak berapa lama berselang, engkau keluar sambil membawa dua buah es krim di masing-masing tanganmu. Kulihat engkau tersenyum sangat manis. Jalanmu begitu anggun.
Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan sangat kencang. Tanpa ampun, menabrak tubuh indahmu. Aku segera berlari menghampirimu. Darah menetes deras dari tubuhmu. Memerah di putih bajumu. Kuangkat engkau. Kudekap kepalamu dan kuciumi wajah pucatmu. Hatiku serasa dirajam. Allah....
“Kakak… aku sangat mencintaimu. Maafkan aku….” engkau berkata dengan suara yang sangat lemah, hampir tak terdengar. Engkau tersenyum, begitu damai. Perlahan kau pejamkan matamu.
Aku tak mampu berkata-kata. Kuperiksa nadimu. Berhenti! Begitu juga dengan bumi yang aku pijak. Semua seperti berhenti. Angin menjadi diam. Langit pun menggelap dan tiba-tiba runtuh di atasku.
“Innalillahi wa inna illaihi raji’un….” jiwaku serasa turut melayang, mengunci waktu.
"Adeeeeeeeeeekkk...!"
~~@~~
Suara adzan membuyarkan lamunanku. Matahari telah tepat di atas kepala. Matahari yang sama, yang menyinari hari-hariku ketika bersamamu.
Allah, betapa cinta ini telah mengakar dalam hatiku. Menggema hingga ke lorong-lorong jiwaku. Aku sangat mencintainya, Rabb…. Ku bersyukur telah Engkau perkenankan aku hidup bersamanya. Inilah jalan takdir yang harus aku lalui. Kutahu ini adalah ujian bagiku. Ujian atas sebentuk cinta yang kurasa. Kecintaanku padanya adalah jalan tuk meraih cinta-Mu. Begitu juga ketika kuharus kehilangannya. Keikhlasanku tuk melepasnya adalah bentuk terbesar indah cintaku padanya dan ketaatanku sebagai hamba.
Bantu hamba ya Rabb… tabahkan hati yang rapuh ini. Penuhi jiwa hamba dengan ikhlas yang tak terbatas. Dan ijinkanlah cinta ini tetap bersemayam di kalbu hamba, cinta yang kan terbungkus dengan indah sebagai hadiah untuknya kelak.
No comments:
Post a Comment