Sunday, April 17, 2011

Masikah Relevan


Kritik Psikologi, Masihkah Relevan?Psikologi adalah ilmu yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan baik dari segi sosial, pendidikan, industri, maupun dari kalangan sebuah keluarga. Walaupun pada kenyataannya psikologi masih banyak mengalami perdebatan dan pertentangan di dalam keilmuwannya sendiri. Seperti halnya kepribadian dan inteligensi yang memang masih terdapat berbagai macam berbedaan teori dan pertentangan, apakah memang kepribadian dan inteligensi bersifat keturunan ataukah dari proses hasil belajar? Bahkan ketika perdebatan ini belum selesai, sudah banyak praktik-praktik psikologi dan penyuluhan psikologi yang memberikan informasi tentang kepribadian dan inteligensi itu sendiri di kalangan masyarakat, yang kenyataannya memang masih diperdebatkan. Kita akan membahas dan memahami apakah memang psikologi masih relevan di tengah pertentangan dan perdebatan yang memang belum selesai sampai saat ini dalam kehidupan bermasyarakat?
Sejarah perkembangan psikologi tidak bisa lepas dari konteks sosial pada saat itu sehingga akan lebih tepat jika perbedaan teori psikologi dikatakan sebagai aliran-aliran psikologi. Dimana dalam kehidupan beragama pun kita memiliki berbagai macam aliran, dalam agama islam misalnya, di Indonesia terdapat berbagai aliran seperti nadhatul ulama, muhammadiah dan lain-lain. Dari kesemuanya itu memiliki pemahaman yang berbeda-beda, tetapi masih satu tujuan dan jalan yang sama dalam berketuhanan.
Bahkan sejarah terbentuknya aliran dalam islam bermula dari berbedaan, begitu juga dengan ilmu psikologi. Bisa dikatakan, memang terjadi ketidaksetujuan dan ketidakpuasan atas suatu aliran tertentu sehingga membentuk aliran baru yang berbeda atau bahkan bertentangan. Walaupun terdapat berbagai aliran dalam ilmu psikologi, semua aliran itu masih dalam satu kajian yang mempelajari perilaku manusia dan proses mental. Aliran psikologi tidak bisa dilepaskan dari paradigma yang berpengaruh pada saat itu sehingga tidak bisa diperdebatkan pertentangan teorinya, terutama psikoanalisis dan humanistik yang mencoba keluar dari ranah empiris dan kembali pada sisi filsafat, berbeda dengan strukturalisme yang memang fokus dengan empirisme.
Kembali lagi manakah aliran yang kita pakai dan benar secara keilmuwan untuk diterapkan? Jawabannya adalah semua tergantung, manakah dari berbagai aliran tersebut yang memang sesuai dan menggambarkan keadaan dan situasi budaya, norma, moral dan adat istiadat kita sebagai pelaku budaya. Ketika budaya kita lebih condong untuk melihat kepintaran atau kecerdasan dari banyaknya binatang yang bisa kita buru (budaya suku pedalaman, misalnya) maka itulah yang bisa kita katakan sebagai kecerdasan kita sebagai masyarakat pedalaman. Bahwa kesemuanya itu kembali pada relevansinya terhadap kebudayaan kita. Bagaimana kesesuaian antara teori dan aliran-aliran psikologi dengan kebudayaan kita sebagai masyarakat di Indonesia yang memiliki berbagai macam suku dan budaya.
Ketika kita akan berbicara berbagai macam budaya, jika dikaitkan dengan kajian ilmu psikologi, kita akan kembali membahas tentang “psikologi lintas budaya”. Dimana psikologi lintas budaya adalah studi tentang kesamaan dan perbedaan pada fungsi-fungsi psikologis individu dalam berbagai budaya dan kelompok etnokultural; hubungan antara variabel-variabel psikologis dan sosio-cultural, variabel ekokultural dan biologis dan terjadinya perubahan pada variabel-variabel tersebut (Segall dkk, 2002)
Berdasarkan pengertian di atas kita diharuskan mengetahui perbedaan budaya kita dengan budaya pada saat psikologi muncul sebagai ilmu pengetahuan. Apakah kajian ilmu tersebut sesuai dengan kebudayaan kita ataukah ada berbedaan di dalamnya. Misalkan, ketika kita adalah suku pedalaman yang masih menggunakan cara berburu dalam kehidupan sehari-hari maka berburu bisa menjadi tolak ukur kecerdasan kita sebagai masyarakat pedalaman, bukan dilihat dari bagaimana kecerdasan itu diukur dari bisa dan tidaknya kita menghitung matematika, menjawab soal-soal ujian, menjawab serangkaian tes kecerdasan dan lain-lain.
Bahkan pada saat sekarang ini DSM IV telah menghapus indikasi homoseksual adalah bentuk dari gangguan kejiwaan. Mereka mengatakan bahwa homoseksual adalah normal, kemudian bagaimanakah dengan kita sebagai masyarakat psikologi Indonesia? Apakah kita akan menerimanya mentah-mentah ataukah melihat kembali ke dalam tolak ukur kita sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan mereka. Kesesuaian teori psikologi dengan kebudayaan kita itulah yang benar-benar harus kita pahami, sehingga teori-teori tersebut adalah teori yang benar-benar relevan dengan kebudayaan dan diri kita sebagai manusia.

No comments:

Post a Comment