Thursday, October 13, 2011

SYARIAT WUDHU

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah:3)
Kunci shalat adalah bersuci, apabila kita telah berwudhu dengan baik, maka satu pintu diterimanya shalat telah terbuka. Berikut ini merupakan hal-hal yang berkaitan dengan berwudhu dan shalat.

A. Definisi Wudhu
Wudhu secara etimologi berasal dari shigat, yang artinya bersih. Menurut wahbah Al-Zuhaili pengertian wudhu adalah mempergunakan air pada anggota tubuh tertentu dengan maksud untuk membersihkan dan menyucikan. Adapun menurut syara’, wudhu adalah membersihkan anggota tubuh tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.
Pensyari’atan wudhu bertitik pijak pada dua dalil, yaitu Al-Qur’an al-Karim pada surat Al-Maidah ayat 6 dan Al-Sunah.



“Hai rang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu degan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

B. Hukum Wudhu
Hukum wudhu tidak bersifat mutlak tetapi tergantung kondisi dan kebutuhan. Berikut ini adalah hukum-hukum wudhu:

I. Fardlu
• Ingin melaksanakan shalat dalam keadaan berhadats.
Orang yang berhadats wajib berwudhu ketika hendak melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunat, sempurna atau tidak sempurna. Barang siapa berwudhu untuk satu jenis saja maka ia boleh melakukan semuanya.
• Ketika hendak memegang mushaf Al-Qur’an
Sebagian ulama mewajibkan berwudhu ketika hendak menyentuh A-lQur’an sekalipun tulisan satu ayat di atas kertas, dinding, atau uang, berdasarkan Al-Qur’an:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
Ulama hanafiah membolehkan menyentuh mushaf atau menuliskannya tanpa berwudhu dengan syarat:
1). Kondisi darurat / terpaksa.
2). Adanya pembungkus yang terpisah atau kulit yang bersambung dengannya.
3). Usia belum baligh, tetapi bagi yang sudah baligh dan wanita haidh tetap tidak boleh menyentuhnya kecuali dengan berwudhu baik dia sebagai guru atau murid.
4). Hendaklah ia seorang Muslim, tidak boleh seorang Muslim membiarkan orang kafir menyentuhnya selagi dia sanggup melarangnya.
II. Wajib Wudhu
Wudhu wajib hukumnya bagi orang yang akan melaksanakan thawaf. Jumhur Ulama sepakat behwa hokum berwudhu bagi orang yang hendak thawaf adalah wajib.
III. Sunat / Mandub / Mustahab
Hukum wudhu adalah mandub (sunat) dalam banyak kondisi antara lain:
1). Sebelum berdzikir dan berdo’a
2). Sebelum tidur
3). Setiap kali berhadats
4). Setiap kali akan melaksanakan shalat
5). Setelah membawa jenazah
6). Ketika marah
7). Beberapa pekerjaan baik, seperti adzan, iqamat, menyampaikan khutbah, mengkhitbah (melamar) perempuan dan ziarah ke makan Rasulullah.
8). Sesudah melakukan kesalahan

IV. Makruh
Wudhu hukumnya makruh dilakukan ketika mengulang wudhu sebelum menunaikan shalat dengan wudhu yang pertama, artinya berwudhu di atas wudhu yang lain hukumnya makruh.
V. Mubah
Wudhu hukumnya mubah, jika wudhu dilakukan untuk kebersihan dan kesegaran.
VI. Mamnu’ / Haram
Hanafiah beralasan ketika berwudhu dengan air rampasan dan anak yatim. Pengikut Madzab Hanbali mengatakan: Tidak sah wudhu dengan air hasil rampasan (ghasab).
C. Rukun Wudhu
1. Niat
Niat adalah maksud hati terhadap sesuatu yang disertai dengan pelaksanaannya. Adapun nita wudhu adalah suatu ketetapan hati untuk melakukan wudhu sebagai pelaksanaan dari perintah Allah SWT.
Adapun dalil tentang kewajiban niat berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesunggguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya”
Dengan niat untuk berwudhu didalam hati, Rasulullah SAW memulai berwudhu dengan mengucapkan “Bismillah”. Namun, ada juga yang menganggap bahwa mengucap basmalah bukan merupakan rukun wudhu, melainkan sunat wudhu.
2. Mengucap Basmalah kemudian basuh kedua tangannya tiga kali, kemudian berkumur, menghisap air ke hidung,menyemburkannya
Doa membasuh dua telapak tangan:
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي جَعَلَ اْلمَاءَ طَهُوْرًا
Artinya: Dengan nama Allah yang
Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang Segala Puji bagi Allah yang menjadikan air itu suci.
Doa ketika berkumur:
اَللَّهُمَّ اَسْـقِـنِى مِنْ حَوْضِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهاَ أَبَدًا
Artinya: Ya Allah, curahkan segelas air dari telaga Nabimu Muhammad SAW yang tidak akan kehausan setelah itu selama-lamanya.
Dengan niat untuk berwudhu didalam hati, Rasulullah SAW memulai berwudhu dengan mengucapkan “Bismillah”. Namun, ada juga yang menganggap bahwa mengucap basmalah bukan merupakan rukun wudhu, melainkan sunat wudhu
3. Membasuh wajah
Dalil wajibnya membasuh wajah adalah firman Allah SWT:

“Maka basuhlah wajahmu.”
Doa ketika membasuh muka:
اَللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِى يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ
Artinya: Ya Allah! beri cahaya di wajahku pada hari bercahaya.

Membasuh (al-ghaslu) adalah mengalirkan air ke anggota tubuh denganmerata. Menurut pendapat yang lain al-ghaslu adalah mengalirkan air ke atas sesuatu dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran atau sejenisnya. Adapun batas membasud wajah adalah tinggi dari tempat tumbuhnya rambut (atas kening) sampai ke bawah dagu, lebar adalah jarak dua daun telinga. Bagi orang yang memiliki jenggot tipis hendaklah membasuh sampai air mengenai kulitnya. Bagi orang yang memiliki jenggot tebal hendaklah ia mentakhlilnya (menyela-nyela)






4. Membasuh kedua tangan sampai siku
Dalil perintah membasuh kedua tangan sampai siku adalah firman Allah:

”Dan membasuh kedua tangan sampai siku”
Doa saat mencuci tangan kanan:
اَللَّهُمَّ اَعْطِنِى كِتاَبِى بِيَمِيْنِى وَحَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيْرًا
Artinya: Ya Allah! berikanlah kepadaku kitabku dari sebelah kanan dan hitunglah amalanku dengan perhitungan yang mudah.

Doa saat mencuci tangan kiri:

اَللَّهُمَّ لاَ تُعْطِنِى كِتاَبِى مِنْ يَساَرِىْ وَ لاَ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِىْ
Artinya: Ya Allah! aku berlindung denganMu dari menerima kitab amalanku dari sebelah kiri atau dari sebelah belakang.

Tangan adalah organ tubuh antara ujung jari sampai siku. Sedangkan siku adalah sendi yang terletak antara pangkal lengan dengan pergelangan tangan. Oleh sebab itu membasuh dua siku adalah wajib.
Cara membasuh kedua tangan sampai siku adalah dimulai dari tangan kanan: ujung jari dengan membersihkan sela-sela jari, menggosok lengan sampai ke siku. Setelah selesai dengan tangan kanan sebanyak 3 kali, dilanjutkan tangan kiri dengan cara yang sama.


5. Menyapu kepala
Menyapu kepala termasuk telinga sebagai rukun wudhu didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 6:

”Dan sapulah kepalamu”
Doa saat membasahi kepala:
اَللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ مِنَ النَّارِ وَاَظِلَّنِي تَحْتَ عَرْشِكَ يَوْمَ لاَ ظِلَّ اِلاَّ ظِلُّكَ
Artinya: Ya Allah, haramkan rambutku dan kulitku dari neraka dan lindungilah aku dari ArsyMu pada hari tidak ada perlindungan kecuali perlindunganMu.
Menyapu (almashu) adalah melewatkan tangan yang basah di atas anggota tubuh. Sedangkan kepala adalah suatu tempat yang biasa ditumbuhi rambut yang letaknya dari atas kening sampai ke belakang tengkuk dan termasuk kedalamnya adalah pelipis yang letaknya diatas tulang yang biasa timbul di wajah. Adapun menyapu sebagian kepala baik sedikit atau banyak, diperbolehkan sepanjang ia masih dalam pengertian yang benar tentang menyapu dan tentang menyapu satu atau tiga helai rambut saja hal itu tidaklah benar.
Ada tiga cara mengusap kepala:
Pertama, mengusap dengan dua tangan dimulai dari bagian dpan, terus kebelakang, kemudian dari belakang diteruskan ke dapan dan memasukkan jari telunjuk ke dalam kedua telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagaian luar.

Doa membasuh dua telinga:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ

Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan kata dan mengikuti sesuatu yang terbaik.
Kedua, apabial seseorang mengenakan serban dikepalanya maka cukup membasuh serbannya. Ketiga, membasuh ubun-ubun dan serban sekaligus.
6. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
Perintah membasuh kedua kaki sampai mata kaki dalam berwudhu berdasarkan firman Allah SWT:

”Dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Doa saat membasuh dua telapak kaki:

اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمَّي عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ فِيْهِ اْلاَقْدَامُ
Artinya: Ya Allah, mantapkan kedua kakiku di atas titian (shirothol mustaqim) pada hari dimana banyak kaki-kaki yang tergelincir.

Dua mata kaki (ka’bain) adalah dua tulang yang menonol disamping, tepatnya dipersendian betis dengan telapak kaki. Membasuh kaki adalah wajib sesuai dengan kesepakatan umat berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits.


Cara membasuh kedua kaki adlah dimulai dengan membasuh ujung-ujung jari sampai mata kaki, mencuci mata kaki dan membersihkan sela-sela jari kaki. Setelah selesai kaki kanan sebanyak 3 kali, dilanjutkan kaki kiri dengan cara yang sama.
7. Tertib
Tertib dalam melakukan wudhu hukumnya wajib. Artinya jika mendahulukan sebagian anggota dan mengakhirkan yang lain bukan menurut aturan sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an, maka wudhunya batal atau tidak sah. Praktek wudhu menurut sunah (contoh Rasul) adalah tertib. Tidak terdapat suatu riwayatpun tentang wudhu melinkan beliau melakukannya dengan tertib. Yang dimaksud tertib disini adalah tersusun sebagaimana urutan dalam Al-Qur’an.
8. Membaca doa setelah berwudhu
Adapun riwayat yang menjelaskan tentang berdoa setelah berwudhu adalah hadits riwayat Muslim bahwa setelah berwudhu, nabi berdoa:
Doa setelah berwudhu :
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ اْلمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ
Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, tiada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu hamba dan utusanNya. Ya Allah! Jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bersuci dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang soleh.
Dalam hadits tersebut dikabarkan bahwa barangsiapa berwudhu dengan sempurna, kemudian berdo’a maka akan dibukakan pintu surga yang delapan, ia dapat masuk melalui pintu manapun yang dikehendaki. Subhanallah!.
D. Syarat Wudhu
Syarat menurut para ulama fiqh adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri. Ketiadaannya, hukum pun tidak ada. Fuqaha membagi syarat wudhu menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah wudhu.
a. Syarat Wajib Wudhu
Wahbah al-Zuhaili, guru besar fiqih Universitas Damaskus mengemukakan bahwa wudhu diwajibkan kepada seseorang apabila ia memenuhi delapan syarat berikut:
1). Berakal, wudhu tidak wajib bagi orang gila, pingsan, kesurupan, tidur.
2). Baligh, wudhi tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, tetapi wudhunya tetap sah.
3). Muslim, karena yang mendapat perintah dari Allah (Haakim) adalah khusus orang Islam (mahkum ’alaih).
4). Mampu menggunakan air yang suci dan cukup. Kemampuan orang yang menggunakan air menjadi syarat wajib wudhu, maka tidak wajib berwudhu bagi orang sakit karena ia tidak bisa mengunakannya juga ketika air tidak ada dan kalau seseorang mendapatkan sedikit air maka ia boleh membasuh satu kali satu kali.
5). Sedang berhadats kecil, seseorang yang telah berwudhu tidak ada kewajiban untuk mengulang lagi wudhunya.
6). Tidak sedang haid.
7). Tidak sedang nifas.
8). Ketika waktu untu mengerjakan ibadah sudah datang.
b. Syarat Sah Wudhu
Fuqaha madzhab Hanafi mengemukakan syarat sah wudhu ada tiga, sementara menurut jumhur ada empat, yaitu:
1). Menyiramkan air secara merata ke semua anggota tubuh yang dibasuh.
2). Menghilangkan apa-apa yang dapat menghalangi sampainya air ke anggota tubuh yang dibasuh.
3). Berhentinya segala yang membatalkan wudhu ketika wudhu dimulai, seperti haid, nifas dan hadats kecil
4). Berwudhu setelah masuk waktu seperti halnya orang yang bertayamum dan bagi yang memiliki udzur selalu berhadats seperti menetesnya air seni. Syarat keempat ini menurut jumhur fuqaha selain Hanafiah.
E. Yang Membatalkan Wudhu
1. Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madzi, atau wadi), kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah swt. “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan….” (Al-Ma’idah: 6) dan sabda Nabi saw., “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu ketika berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq alaih). Hadats adalah angin dubur baik bersuara atau tidak. Sedangkan madzi adalah karena sabda Nabi saw., “Wajibnya wudhu.” (Muttafaq alaih). Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan Ibnu Abbas, “Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat.” (Al-Baihaqi dalam As-Sunan)
2. Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub.” (Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi dan menshahihkannya). Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Muslim, dan Abu Daud, “Adalah para sahabat Rasulullah saw. pada masa Nabi menunggu shalat Isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
3. Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.
Tiga hal itu disepakati sebagai pembatal wudhu, tapi para ulama berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:
a. Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’i dan Ahmad, seperti dalam hadits Busrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Hibban). Al-Bukhari berkata, “Inilah yang paling shahih dalam bab ini.” Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.
b. Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah, maka berpaling dan berwudhulah.” (Ibnu Majjah dan didhaifkan oleh Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dan menurut Asy-Syafi’i dan Malik bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kuat menurutnya, juga karena hadits Anas r.a., “Bahwa Rasulullah saw. dibekam dan shalat tanpa wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan berkata, “Kaum muslimin melaksanakan shalat dengan luka-luka mereka.” (Al-Bukhari)
c. Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’, “Bahwa Rasulullah saw. muntah lalu berwudhu.” Ia berkata, kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di Masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab, “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (At-Tirmidzi dan mensahihkannya). Demikiamlah Madzhab Hanafi. Dan menurut Syafi’i dan Malik, muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai istihbab/sunnah.
d. Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Mazhab Syafi’i dengan dalil firman Allah swt. Al-Ma’idah ayat 6. Tidak membatalkan menurut Jumhurul Ulama karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits Aisyah r.a., “Bahwa Rasulullah saw. mencium isterinya, kemudian shalat tanpa berwudhu.” (Ahmad dan Imam empat). Juga ucapan Aisyah r.a., “Saya tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia memindahkan kakiku.” (Muttafaq alaih). Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini, apakah wanita itu isteri atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram, tidak membatalkan wudhu.
e. Tertawa terbahak ketika shalat yang ada rukuk dan sujudnya, membatalkan wudhu menurut Madzhab Hanafi karena ada hadits, “… kecuali karena tertawa terbahak-bahak, maka ulangilah wudhu dan shalat semuanya.” Sedang menurut jumhurul ulama, tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu karena hadits tersebut tidak kuat sebagai hadits yang membatalkan wudhu. Juga karena hadits Nabi saw., “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.” Demikian Imam Bukhari mencatatnya sebagai hadits mauquf dari Jabir. Pembatalan wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak ditemukan dalil yang kuat.
f. Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi saw. menyatakan, “Jika salah seorang diantaramu merasakan sesuatu di perutnya, lalu dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga ia mendengar suara atau mendapati baunya.” (Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi). Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum, ia wajib berwudhu sebelum shalat.

No comments:

Post a Comment